
Terbukti Korupsi, Istri Nazaruddin Divonis 6 Tahun Penjara
Neneng juga diwajibkan membayar uang pengganti Rp800 juta.
Kamis, 14 Maret 2013, 15:49
VIVAnews - Istri Muhammad Nazaruddin, Neneng Sri Wahyuni divonis enam tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider enam bulan kurungan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta.
Majelis menyatakan, terdakwa Neneng Sri Wahyuni terbukti melakukan korupsi proyek pengadaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Ditjen Pembinaan Pengembangan Masyarakat dan Kawasan Transmigrasi (P2MKT) Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi tahun 2008.
"Menyatakan terdakwa Neneng Sri Wahyuni terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dalam Pasal 2 ayat 1 jo pasal 18 Undang-undang No 31 tahun 1999 tentang pemberatasan tindak pidana korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP," kata Ketua Majelis Hakim, Tati Hadianti saat membacakan putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis 14 Februari 2013.
Selain dijatuhi vonis enam tahun penjara, majelis juga memerintahkan terdakwa untuk membayar uang pengganti sebesar Rp800 juta. Dengan ketentuan apabila dalam jangka waktu satu bulan tidak dibayarkan, maka hartanya akan disita atau dilelang untuk negara. Apabila tidak memenuhi, dipidana penjara selama satu tahun.
Majelis mengatakan terdakwa Neneng Sri Wahyuni bersama suaminya M Nazaruddin memerintahkan Mindo Rosalina Manulang dan Marisi Matondang untuk meminjam bendera ke PT Mahkota Negara, PT Nuratindo dan PT Alfindo Nuratama untuk mengikuti lelang proyek PLTS senilai Rp8,930 miliar. Untuk perusahaan yang dipinjam disepakati akan memperoleh 0,5 persen dari nilai kontrak apabila jadi pemenang.
Terdakwa selaku Direktur Keuangan PT Anugrah Nusantara juga telah memerintahkan Marisi Matondang untuk membuat draft kontrak proyek PLTS, kemudian dilakukan tanda tangan surat perjanjian pengadaan, pemasangan pada 22 September 2008, sebesar Rp8.741.662.600 antara Timas Ginting selaku PPK dan Arifin Ahmad selaku Direktur Alfindo Nuratama Perkasa.
Di tengah jalan, terdakwa mengarahkan Mindo Rosalina untuk mengalihkan seluruh pekerjaan utama pemasangan PLTS yang harusnya dilakukan PT Alfindo ke PT Sundaya. Dengan rincian kontrak senilai Rp5.274.604.800.
Majelis menyatakan, terdakwa Neneng Sri Wahyuni terbukti melakukan korupsi proyek pengadaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Ditjen Pembinaan Pengembangan Masyarakat dan Kawasan Transmigrasi (P2MKT) Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi tahun 2008.
"Menyatakan terdakwa Neneng Sri Wahyuni terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dalam Pasal 2 ayat 1 jo pasal 18 Undang-undang No 31 tahun 1999 tentang pemberatasan tindak pidana korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP," kata Ketua Majelis Hakim, Tati Hadianti saat membacakan putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis 14 Februari 2013.
Selain dijatuhi vonis enam tahun penjara, majelis juga memerintahkan terdakwa untuk membayar uang pengganti sebesar Rp800 juta. Dengan ketentuan apabila dalam jangka waktu satu bulan tidak dibayarkan, maka hartanya akan disita atau dilelang untuk negara. Apabila tidak memenuhi, dipidana penjara selama satu tahun.
Majelis mengatakan terdakwa Neneng Sri Wahyuni bersama suaminya M Nazaruddin memerintahkan Mindo Rosalina Manulang dan Marisi Matondang untuk meminjam bendera ke PT Mahkota Negara, PT Nuratindo dan PT Alfindo Nuratama untuk mengikuti lelang proyek PLTS senilai Rp8,930 miliar. Untuk perusahaan yang dipinjam disepakati akan memperoleh 0,5 persen dari nilai kontrak apabila jadi pemenang.
Terdakwa selaku Direktur Keuangan PT Anugrah Nusantara juga telah memerintahkan Marisi Matondang untuk membuat draft kontrak proyek PLTS, kemudian dilakukan tanda tangan surat perjanjian pengadaan, pemasangan pada 22 September 2008, sebesar Rp8.741.662.600 antara Timas Ginting selaku PPK dan Arifin Ahmad selaku Direktur Alfindo Nuratama Perkasa.
Di tengah jalan, terdakwa mengarahkan Mindo Rosalina untuk mengalihkan seluruh pekerjaan utama pemasangan PLTS yang harusnya dilakukan PT Alfindo ke PT Sundaya. Dengan rincian kontrak senilai Rp5.274.604.800.
Selanjutnya terdakwa perintahkan Yulianis melakukan pembayaran bertahap ke PT Sundaya sebagai realisasi pengalihan pekerjaan utama PLTS sebesar Rp5.274.604.800. Selebihnya diberikan kepada Arifin Ahmad Rp40 juta sebagai realisasi pemberian fee atas peminjaman berkas PT Alfindo.
Bahkan lebih lanjut majelis menyatakan terdakwa pernah mengaku telah memerintahkan karyawan PT Alfindo untuk mencairkan cek dalam pelaksanaan PLTS, mulai dari pengadaan dan pemasangannya dilakukan PT Sundaya, Perlengakapan administrasi dilakukan Marisi, kontrak antara PT Sundaya dan PT Afindo senilai Rp5,2 miliar.
"Dari fakta tersebut, majelis menilai terdakwa mengetahui adanya pengadaan PLTS, terdakwa membiayai dengan memberikan uang Rp2 miliar, negosiasi teknik pembayaran dengan PT Sundaya," ujar hakim anggota, Made Hendra.
Dalam menjatuhi putusan, majelis hakim mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa. Yang memberatkan terdakwa, perbuatan terdakwa kontraproduktif dalam upaya pemerintah dalam pemberantasan korupsi, terdakwa mengabaikan panggilan KPK dan tidak segera menyerahkan diri setelah masuk daftar pencarian orang.
Sedangkan yang meringankan, terdakwa Neneng masih memiliki tanggungan anak-anak yang masih kecil dan belum pernah hukum.
Terkait putusan majelis hakim, jaksa KPK menyatakan pikir-pikir. Sementara terdakwa dan pensehat hukumnya belum menyatakan sikapnya terhadap putusan majelis karena tidak menghadiri persidangan. Oleh karena itu, majelis memerintahkan kepada penuntut umum untuk menyampaikan putusan ini di papan pengumuman pengadilan.
Bahkan lebih lanjut majelis menyatakan terdakwa pernah mengaku telah memerintahkan karyawan PT Alfindo untuk mencairkan cek dalam pelaksanaan PLTS, mulai dari pengadaan dan pemasangannya dilakukan PT Sundaya, Perlengakapan administrasi dilakukan Marisi, kontrak antara PT Sundaya dan PT Afindo senilai Rp5,2 miliar.
"Dari fakta tersebut, majelis menilai terdakwa mengetahui adanya pengadaan PLTS, terdakwa membiayai dengan memberikan uang Rp2 miliar, negosiasi teknik pembayaran dengan PT Sundaya," ujar hakim anggota, Made Hendra.
Dalam menjatuhi putusan, majelis hakim mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa. Yang memberatkan terdakwa, perbuatan terdakwa kontraproduktif dalam upaya pemerintah dalam pemberantasan korupsi, terdakwa mengabaikan panggilan KPK dan tidak segera menyerahkan diri setelah masuk daftar pencarian orang.
Sedangkan yang meringankan, terdakwa Neneng masih memiliki tanggungan anak-anak yang masih kecil dan belum pernah hukum.
Terkait putusan majelis hakim, jaksa KPK menyatakan pikir-pikir. Sementara terdakwa dan pensehat hukumnya belum menyatakan sikapnya terhadap putusan majelis karena tidak menghadiri persidangan. Oleh karena itu, majelis memerintahkan kepada penuntut umum untuk menyampaikan putusan ini di papan pengumuman pengadilan.
sumber : vivanews
editor : muhammad rifai
0 comments:
Post a Comment